Ketika ibukotanya masih di Banjarmasin, maka kesultanan ini disebut Kesultanan Banjarmasin. Kesultanan Banjar merupakan penerus dari Kerajaan Negara Daha yaitu kerajaan Hindu yang beribukota di kota Negara, sekarang merupakan ibukota kecamatan Daha Selatan, Hulu Sungai Selatan.
Sejarah
Menurut mitologi suku Maanyan (suku tertua di Kalimantan Selatan), kerajaan pertama adalah Kerajaan Nan Sarunai yang diperkirakan wilayah kekuasaannya terbentang luas mulai dari daerah Tabalong hingga ke daerah Pasir. Keberadaan mitologi Maanyan yang menceritakan tentang masa-masa keemasan Kerajaan Nan Sarunai sebuah kerajaan purba yang dulunya mempersatukan etnis Maanyan di daerah ini dan telah melakukan hubungan dengan pulau Madagaskar. Kerajaan ini mendapat serangan dari Jawa (Majapahit)[9] sehingga sebagian rakyatnya menyingkir ke pedalaman (wilayah suku Lawangan). Salah satu peninggalan arkeologis yang berasal dari zaman ini adalah Candi Agung yang terletak di kota Amuntai. Pada tahun 1996, telah dilakukan pengujian C-14 terhadap sampel arang Candi Agung yang menghasilkan angka tahun dengan kisaran 242-226 SM (Kusmartono dan Widianto, 1998:19-20).Menilik dari angka tahun dimaksud maka Kerajaan Nan Sarunai/Kerajaan Tabalong/Kerajaan Tanjungpuri usianya lebih tua 600 tahun dibandingkan dengan Kerajaan Kutai Martapura di Kalimantan Timur.
Menurut Hikayat Sang Bima, wangsa yang menurunkan raja-raja Banjar adalah Sang Dewa bersaudara dengan wangsa yang menurunkan raja-raja Bima (Sang Bima), raja-raja Bali (Sang Kuala), raja-raja Dompu(Darmawangsa), raja-raja Gowa (Sang Rajuna) yang merupakan lima bersaudara putera-putera dari Maharaja Pandu Dewata.[10][11]
Sesuai Tutur Candi (Hikayat Banjar versi II), di Kalimantan Selatan telah berdiri suatu pemerintahan dari dinasti kerajaan (keraton) yang terus menerus berlanjut hingga daerah ini digabungkan ke dalam Hindia Belanda sejak 11 Juni 1860, yaitu :
- Keraton awal disebut Kerajaan Kuripan
- Keraton I disebut Kerajaan Negara Dipa
- Keraton II disebut Kerajaan Negara Daha
- Keraton III disebut Kesultanan Banjar
- Keraton IV disebut Kerajaan Martapura/Kayu Tangi
- Keraton V disebut Pagustian
Tomé Pires melaporkan bahwa Tanjompure (Tanjungpura/Sukadana) dan Loue (Lawai) masing-masing kerajaan tersebut dipimpin seorang Patee (Patih). Patih-patih ini tunduk kepada Patee Unus, penguasa Demak. [12]. Kemungkinan besar penguasa Sambas dan Banjarmasin juga telah ditaklukan pada masa pemerintahan Sultan Demak Pati Unus/Pangeran Sabrang Lor (1518-1521) sebelum penyerbuan ke Malaka.
Masa kejayaan
Kesultanan Banjar mulai mengalami masa kejayaan pada dekade pertama abad ke-17 dengan lada sebagai komoditas dagang, secara praktis barat daya, tenggara dan timur pulau Kalimantan membayar upeti pada kerajaan Banjarmasin. Sebelumnya Kesultanan Banjar membayar upeti kepada Kesultanan Demak, tetapi pada masa Kesultanan Pajang penerus Kesultanan Demak, Kesultanan Banjar tidak lagi mengirim upeti ke Jawa.Supremasi Jawa terhadap Banjarmasin, dilakukan lagi oleh Tuban pada tahun 1615 untuk menaklukkan Banjarmasin dengan bantuan Madura (Arosbaya) dan Surabaya, tetapi gagal karena mendapat perlawanan yang sengit. [13]
Sultan Agung dari Mataram (1613–1646), mengembangkan kekuasaannya atas pulau Jawa dengan mengalahkan pelabuhan-pelabuhan pantai utara Jawa seperti Jepara dan Gresik (1610), Tuban (1619), Madura (1924) dan Surabaya (1625). Pada tahun 1622 Mataram kembali merencanakan program penjajahannya terhadap kerajaan sebelah selatan, barat daya dan tenggara pulau Kalimantan, dan Sultan Agung menegaskan kekuasaannya atas Kerajaan Sukadana tahun 1622.
Seiring dengan hal itu, karena merasa telah memiliki kekuatan yang cukup dari aspek militer dan ekonomi untuk menghadapi serbuan dari kerajaan lain, Sultan Banjar mengklaim Sambas, Lawai, Sukadana, Kotawaringin, Pembuang, Sampit, Mendawai, Kahayan Hilir dan Kahayan Hulu, Kutai, Pasir, Pulau Laut, Satui, Asam Asam, Kintap dan Swarangan sebagai vazal dari kerajaan Banjarmasin, hal ini terjadi pada tahun 1636.[14][15][16][17]
Sejak tahun 1631 Banjarmasin bersiap-siap menghadapi serangan Kesultanan Mataram, tetapi karena kekurangan logistik, maka rencana serangan dari Kesultanan Mataram sudah tidak ada lagi. Sesudah tahun 1637 terjadi migrasi dari pulau Jawa secara besar-besaran sebagai akibat dari korban agresi politik Sultan Agung. Kedatangan imigran dari Jawa mempunyai pengaruh yang sangat besar sehingga pelabuhan-pelabuhan di pulau Kalimantan menjadi pusat difusi kebudayaan Jawa.
Disamping menghadapi rencana serbuan-serbuan dari Mataram, kesultanan Banjarmasin juga harus menghadapi kekuatan Belanda. Pada tahun 1637 Banjarmasin dan Mataram mengadakan perdamaian setelah hubungan yang tegang selama bertahun-tahun.[13]Perang Makassar (1660-1669) menyebabkan banyak pedagang pindah dari Somba Opu, pelabuhan kesultanan Gowa ke Banjarmasin.[18] Mata uang yang beredar di Kesultanan Banjar disebut doit.[19]
Sebelum dibagi menjadi beberapa daerah (kerajaan kecil), wilayah asal Kesultanan Banjar meliputi provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, sebelah barat berbatasan dengan Kerajaan Tanjungpura pada lokasi Tanjung Sambar (Ketapang) dan sebelah timur berbatasan dengan Kesultanan Pasir pada lokasi Tanjung Aru. Pada daerah-daerah pecahannya, rajanya bergelar Pangeran, hanya di Kesultanan Banjar yang berhak memakai gelar Sultan. Kesultanan-kesultanan lainnya mengirim upeti kepada Kesultanan Banjar, termasuk Kesultanan Pasir yang ditaklukan tahun 1636 dengan bantuan Belanda.
Kesultanan Banjarmasin merupakan kerajaan terkuat di pulau Kalimantan.[20] Sultan Banjar menggunakan perkakas kerajaan yang bergaya Hindu.[21]
Sistem Pemerintahan
- Raja : bergelar Sultan/Panambahan/Ratu/Susuhunan
- Putra Mahkota : bergelar Ratu Anum/Pangeran Ratu/Sultan Muda
- Perdana Menteri : disebut Perdana Mantri/Mangkubumi/Wazir, dibawah Mangkubumi : Mantri Panganan, Mantri Pangiwa, Mantri Bumi dan 40 orang Mantri Sikap, setiap Mantri Sikap memiliki 40 orang pengawal.
- Lalawangan : kepala distrik, kedudukannya sama seperti di masa Hindia Belanda.
- Sarawasa, Sarabumi dan Sarabraja : Kepala Urusan keraton
- Mandung dan Raksayuda : Kepala Balai Longsari dan Bangsal dan Benteng
- Mamagarsari : Pengapit raja duduk di Situluhur
- Parimala : Kepala urusan dagang dan pekan (pasar). Dibantu Singataka dan Singapati.
- Sarageni dan Saradipa : Kuasa dalam urusan senjata (tombak, ganjur), duhung, tameng, badik, parang, badil, meriam dll.
- Puspawana : Kuasa dalam urusan tanaman, hutan, perikanan, ternak, dan berburu
- Pamarakan dan Rasajiwa : Pengurus umum tentang keperluan pedalaman dan pedusunan
- Kadang Aji : Ketua Balai petani dan Perumahan. Nanang sebagai Pembantu
- Wargasari : Pengurus besar tentang persediaan bahan makanan dan lumbung padi, kesejahteraan
- Anggarmarta : Juru Bandar, Kepala urusan pelabuhan
- Astaprana : Juru tabuh-tabuhan, kesenian dan kesusasteraan.
- Kaum Mangkumbara : Kepala urusan upacara
- Wiramartas : Mantri Dagang, berkuasa mengadakan hubungan dagang dengan luar negeri, dengan persetujuan Sultan.
- Bujangga : Kepala urusan bangunan rumah, agama dan rumah ibadah
- Singabana : Kepala ketenteraman umum.
- Mangkubumi
- Mantri Pangiwa dan Mantri Panganan
- Mantri Jaksa
- Tuan Panghulu
- Tuan Khalifah
- Khatib
- Para Dipati
- Para Pryai
- Mufti : hakim tertinggi, pengawas Pengadilan umum
- Qadi : kepala urusan hukum agama Islam
- Penghulu : hakim rendah
- Lurah : langsung sebagai pembantu Lalawangan (Kepala Distrik) dan mengamati pekerjaan beberapa orang Pambakal (Kepala Kampung) dibantu oleh Khalifah, Bilal dan Kaum.
- Pambakal : Kepala Kampung yang menguasai beberapa anak kampung.
- Mantri : pangkat kehormatan untuk orang-orang terkemuka dan berjasa, diantaranya ada yang menjadi kepala desa dalam wilayah yang sama dengan Lalawangan.
- Tatuha Kampung : orang yang terkemuka di kampung.
- Panakawan : orang yang menjadi suruhan raja, dibebas dari segala macam pajak dan kewajiban.